Jumat, 06 Desember 2019

Manajemen Sumber Daya Pada Obat & Bahan Medis Habis Pakai


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan dasat yang menyelenggarakan upaya kesehatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitative), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi pedoman dan peragaan bagi semua fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia termasuk Puskesmas.
Pelayanan Kefermasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam meningkatkan mulu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok Puskesmas, yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan kesehatan masyarakat.
Modul ini membahas tentang pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas yang meliputi perencanaan dan permintaan obat dan bahan medis habis pakai, penerimaan, penyimpanan dan distribusi obat dan bahan medis habis pakai, pencatatan dan pelaporan obat dan bahas medis habis pakai dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai, dan pelaksanaan farmasi klinik di Puskesmas.
1.2              Tujuan Pembelajaran
1.2.1        Tujuan Pembelajaran Umum
Peserta mampu melakukan manajemen obat dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional di puskesmas.
1.2.2        Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mempelajari materi ini peserta mampu:
1.      Menjelaskan pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas.
2.      Menjelaskan pelayanan farmasi klinik di Puskesmas.
3.      Menjelaskan ruang lingkup penggunaan obat rasional.
1.3              Pokok Bahasan
Pokok bahasan materi ini terdiri atas:
1.      Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas
2.      Pelayanan Farmasi Klinik
3.      Penggunaan obat rasional.

1.4              Langkah Pembelajaran
Langkah 1: Pengkondisian
Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat serta memperkenalkan diri (apabila belum diperkenalkan). Kemudian menyampaikan tujuan pembelajaran., sebaiknya menggunakan bahan tayangan.
Langkah 2: Pokok Bahasan 1
Fasilitator meyampakai materi tentang perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi obat dan bahan medis habis pakai termasuk pencatatan, pelaporan dan evaluasi.
Langkah 3: Pokok Bahasan
Fasilitator menyampaikan paparan tentang pelayanan farmasi klinik serta pencatatan pelaporannya
Langkah 4: Pokok Bahasan 3
Fasilitator menyampaikan paparan tentang penggunaan obat rasional. Materi dalam sesi ini dijelaskan dengan melibatkan partisipasi aktif peserta.
Langkah 5: Rangkuman
Fasilitator Merangkum tentang pembahasan materi ini dengan mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi dilanjutkan memberikan apresiasi atas partisipasi aktif peserta.


























BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Pengelolaan Obat Dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian bahwa pelayanan kefarmasian di puskesmas adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengolahan oabat dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia dan sarana dan prasarana.
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas bertujuan untuk :
a.       Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian
b.      Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c.       Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Pakai merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang terdiri dari aktifitas perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pencattan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi.
Tujuan
Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai bertujuan untuk menjamin kelangsungan ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan BMHP yang efektif, efisien dan rasional, dengan mutu terjaga dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.
Dukungan manajemen dibutuhkan agar pengelolaan obat berjalan optimal, berupa SDM yang kompeten, organisasi dan sistem informasi yang baik, serta pendataan/pembiayaan yang cukup dan berkelanjutan. Setiap tahapan dalam pengelolaan obat harus dilakukan sesuai dengan hukum, kebijakan dan peraturan perungangan, contohnya adanya formularium nasional sebagai acuan dalam seleksi, adanya pengaturan dalam pengelolaan. Barang Milik Daerah, adanya pedoman pengelolaan obat. Semua hal tersebut harus menajdi acuan dalam melakukan pengelolaan obat di sektor pubik.
Permasalahan terkait pengelolaan obat akan terjadi apabila salah satu tahapan tidak berjalan dengan benar. Hal ini bisa diakibatkan baik karena  kesalahan yang dilakukan pada satu atau lebih fungsi pengelolaan atau karena tidak adanya koordinasi antara pihak yang terlibat dalam setiap tahapan, mengingat banyaknya stake holder yang berperan mulai dari seleksi obat sampai obat tersebut digunakan oleh pasien. Pengelolaan obat yang tidak baik akan menyebabkan terganggunya ketersediaan obat dan / menurunnya mutu obat sehingga akan menurunkan kualitas pelayanan kesehatan dan turunnya capaian program kesehatan di Puskesmas, atau dampak lain yang berhubungan dengan inefisiensi, seperti overstock, obat rusak/ kadaluarsa.
2.1.1        Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi obat dan bahan medis habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan obat di Puskesmas. Seleksi obat mengacu kepada Formularium Nasional. Formularium Nasional (Fornas) adalah daftar obat terpilih yang disusun berdasarkan bukti ilmiah mutakhir oleh Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional, dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai acuan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 
Tujuan perencanaan obat adalah untuk:
1.      Mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah obat dan bahan medis habis pakai yang sesuai dengan kebutuhan; 
2.      Meningkatkan efisiensi penggunaan obat dan bahan medis habis pakai;
3.      Mendukung terlaksananya penggunaan obat yang rasional
Pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, vaksin, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Secara umum metoda perencanaan ada dua, pertama adalah metoda epidemiologi/ morbiditas, biasanya digunakan untuk perencanaan obat program kesehatan, kedua adalah metoda konsumsi yaitu perencanaan dengan cara memperhitungkan jumlah konsumsi obat per periode tertentu. Kewenangan merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, vaksin, dan bahan medis habis pakai tetap memperhatikan pengaturan dan pembinaan standar yang berlaku secara nasional.
Kegiatan perencanaan di Puskesmas secara umum ada dua, pertama adalah perencanaan obat tahunan, hasilnya dibahas bersama stake holder terkait dalam pertemuan penyusunan Rencana Kebutuhan Obat di tingkat Kabupaten, untuk kemudian di kompilasi di tingkat Provinsi dan Pusat. Kegiatan kedua adalah perencanaan permintaan secara periodik ke Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota. Perencanaan permintaan pada prinsipnya adalah aktifitas untuk menentukan jenis dan jumlah obat/ BMHP yang akan diminta kepada Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota untuk memenuhi kebutuhan selama satu periode distribusi, untuk mendukung pelayanan kesehatan di masing-masing Puskesmas. Permintaan diajukan dengan LPLPO,  diajukan olehKepala Puskesmas kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan ketepatan waktu penyerahan obat kepada Puskesmas, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menyusun petunjuk lebih lanjut mengenai alur permintaan dan penyerahan obat secara langsung dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota ke Puskesmas.
Permintaan hendaknya memperhitungkan stok optimum, stok optimum adalah stok ideal setiap jenis obat /BMHP yang harus dijaga pada setiap periode distribusi, untuk mendapatkan stok optimum harus diperhitungkan waktu tunggu permintaan obat, buffer stok, jumlah hari kekosongan obat dan pemakaian rata-rata per harinya. Permintaan juga mempertimbangkan trend kunjungan dan pola penyakit.
2.1.2        Pengadaan Obat
Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan proses untuk penyediaan obat yang dibutuhkan di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan di Puskesmas bisa diartikan lebih luas sebagai proses penyediaan barang, secara teknis merupakan realisasi perencanaan menjadi ketersediaan obat, bisa dengan melakukan permintaan ke Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota atau dengan melakukan pembelian menggunakan dana kapitasi Puskesmas, apabila diperlukan.
Instalasi Farmasi akan melakukan verifikasi permintaan dalam LPLPO, termasuk memperhitungkan ketersediaan stoknya untuk menentukan jumlah yang akan diberikan kepada Puskesmas. Selain dengan meminta ke Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota, pengadaan bisa dilaksanakan dengan melakukan pembelian menggunakan dana kapitasi apabila terjadi kekurangan obat. Pengadaan obat/ BMHP terkait dengan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan dapat dilakukan oleh SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan harus mempertimbangkan ketersediaan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 
Hal-hal penting dalam penggunaan dana kapitasi untuk pembelian obat/ BMHP:
a.       Mengacu kepada Formularium Nasional untuk FKTP
b.      Mengacu kepada Peraturan Pengadaan yang berlaku, misalnya kewajiban menggunakan ecatalogue
c.       Harus ada organisir pengadaan: Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penerimaan, bila tidak ada di Puskesmas bisa dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan yang sudah mempunyai perangkat pengadaan
2.1.3        Penerimaan dan Penyimpanan
Obat yang dikirimkan oleh Instalasi Farmasi maupun hasil pengadaan dengan dana kapitasi, sebelum disimpan, harus dilakukan proses penerimaan. 
Penerimaan obat harus dilaksanakan oleh petugas pengelola obat atau petugas lain yang diberi kuasa oleh Kepala Puskesmas. 
Dalam kegiatan penerimaan, aktifitas yang harus dilakukan adalah memeriksa kesesuaian dokumen dengan fisiknya, seperti nama obat,kekuatan, bentuk sediaan, jumlah,dan waktu kadaluarsa. Kegiatan administratif juga harus dilakukan dengan baik, seperti memasukkan obat yang diterima dalam buku penerimaan obat, mengarsipkan dokumen penerimaan dan lainnya. Obat yang sudah diterima kemudian disimpan di ruang peyimpanan Puskesmas, sesuai ketentuan penyimpanan setiap obat.
Penyimpanan merupakan suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diterima pada tempat penyimpanan sesuai dengan kondisi dipersyaratkan dalam kemasan. Penyimpanan diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kondisi yang dipersyaratkan dalam kemasan.
Tujuan penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai berikut:
1.      Memelihara dan menjamin mutu
Penyimpanan harus memperhatikan kelembaban dan suhu, karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas/ mutu obat, pencatatan suhu dan kelembaban harus dilakukan untuk dievaluasi, obat tidak boleh menempel langsung dengan dinding/ lantai. Sirkulasi udara yang baik harus diperhatikan. Obat juga sebaiknya tidak terkena sinar matahari langsung, aspek kebersihan harus diperhatikan.
2.      Menjamin keamanan persediaan
Pintu gudang obat dengan kunci ganda, pemasangan teralis, penyimpanan narkotik/ psikotropik pada tempat khusus, merupakan hal-hal penting untuk menjaga obat agar aman baik dari pencurian, kebakaran maupun penyalahgunaan. Pembatasan personil yang bisa masuk ke ruang penyimpanan juga harus dilakukan.
3.      Memudahkan dalam melakukan pencarian dan pengawasan
Obat dalam jumlah koli utuh diletakkan diatas pallet, obat dengan jumlah sedikit di rak. Penyusunan stok harus berdasarkan klasifikasi tertentu, seperti pemisahan obat dan BMHP, obat luar dan dalam, penyusunan secara alfabetis maupun farmakologis.
4.      Mengendalikan stok
Pengendalian stok salah satunya dilakukan dalam penyimpanan obat, yaitu dengan adanya kartu stok yang diletakkan didekat setiap item obat, dilakukannya stok opname secara periodik, prinsip FEFO-FIFO terhadap obat yang akan didistribusikan.
2.1.4        Distribusi Obat di Puskesmas
Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka mendistribusikan sediaan farmasi dan alat kesehatan kepada unit layanan /satuan kerja/ fasilitas kesehatan dalam jenis dan jumlah yang tepat dengan menggunakan sarana distribusi serta peralatan penunjang penyimpanan dan distribusi yang dapat memastikan mutu sepanjang jalur distribusi. Distribusi di Puskesmas dilakukan ke sub unit pelayanan kesehatan, baik di internal Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, Posyandu. dan Polindes. Kegiatan distribusi harus mempertimbangkan kebutuhan dan ketersediaan obat, metoda (Pull dan Push) dan frekuensi distribusi. Penentuan metoda dan frekwensi distribusi harus mempertimbangkan ketersediaan anggaran, SDM, jarak serta kondisi geografis. Jumlah dan jenis obat yang akan diberikan harus mempertimbangkan pemakaian rata-rata per periode untuk setiap jenis obat, sisa stok, pola penyakit., jumlah kunjungan di masing-masing sub unit pelayanan kesehatan.
2.1.5        Penggunaan Obat
Penggunaan obat berhubungan dengan ketersediaan obat dan dinamika logistik obat secara luas. Penggunaan obat yang rasional salah satunya, harus didukung dengan ketersediaan obatnya, sebaliknya penggunaan obat yang tidak rasional, misalnya karena terjadi over prescriber menyebabkan data penggunaan yang tidak baik, sehingga data yang dibutuhkan untuk perencanaan pada periode sebelumnya menjadi tidak tepat. Data penggunaan obat periode sebelumnya akan digunakan untuk menghitung perencanaan kebutuhan periode selanjutn6ya, baik dengan metoda konsumsi maupun morbiditas/ epidemiologi.
2.1.6        Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan data obat di Puskesmas merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di Puskesmas dan atau unit pelayanan lainnya.
1)      Alur Pelaporan.
Data LPLPO  merupakan kompilasi dari data stok gudang Puskesmas dan sub unit Pelayanan. LPLPO dibuat 3 (tiga) rangkap diberikan ke Dinkes Kabupaten/Kota melalui Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, untuk diisi jumlah yang diserahkan. Setelah ditanda tangani oleh kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota, satu rangkap untuk Kepala Dinas Kesehatan, satu rangkap untuk Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota dan satu rangkap dikembalikan ke puskesmas. Laporan lain yang mendukung administrasi adalah laporan keuangan/asset/ BMD sesuai peraturan Daerah masingmasing, laporan ketersediaan obat indikator, pencatatan dilakukan setiap tanggal 25, jika tanggal 25 jatuh pada hari libur, maka pencatatan dilakukan pada hari kerja berikutnya
2)      Periode Pelaporan.
LPLPO sudah harus diterima oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota paling lambat tanggal 10 setiap bulannya atau berdasarkan kebijakan Kabupaten/ Kota. Laporan ketersediaan obat indikator dilakukan setiap bulan paling lambat tanggal 1 bulan berikutnya ke Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.
2.1.7        Evaluasi Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Evaluasi adalah serangkaian prosedur untuk menilai suatu program dan memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan, kegiatan, hasil dan dampak serta biayanya. Fokus utama dari evaluasi adalah mencapai perkiraan yang sistematis dari dampak program.
Evaluasi bisa dilakukan baik selama berlangsungnya kegiatan/ program, ataupun pada akhir program/ kegiatan. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator pengelolaan obat dan BMHP. 
Berikut adalah beberapa Indikator Pengelolaan Obat di Puskesmas
1.      Kesesuaian item obat yang tersedia dengan Formularium Nasional.  
Merupakan total item obat yang termasuk dalam Formularium Nasional untuk FKTP dibagi dengan total item obat yang tersedia di Puskesmas. Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di puskesmas berupa jumlah item obat yang tersedia dan jumlah item obat yang tidak termasuk dalam Formularium Nasional untuk FKTP. 
2.      Tingkat ketersediaan obat. 
Merupakan Jumlah (kuantum) yang tersedia/ sisa stok suatu item obat  dibagi dengan pemakaian rata-rata obat per periode tertentu. Hal ini bisa dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kekosongan obat sampai kedatangan obat berikutnya.   
3.      Prosentase dan nilai obat rusak/kadaluarsa.
Merupakan Jumlah jenis obat yang rusak atau kadaluwarsa dibagi dengan total jenis obat. Untuk mendapatkan nilainya, didapatkan dengan mengalikan jumlah setiap item obat dengan harganya. Semakin menurunnya persentase obat rusak/kadaluwarsa bisa menjadi salah satu indikator semakin baiknya pengelolaan obat.
5.      Prosentase rata-rata bobot dari variasi persediaan.
Merupakan prosentase rata-rata bobot dari variasi persediaan menggambarkan tingkat ketepatan sistem pencatatan stok yang mencerminkan keadaan nyata fisik obat. Evaluasi ini dilakukan setiap dilakukan stok opname, semakin menurunnya selisih jumlah perhitungan fisik dan jumlah dalam kartu stok bisa diartikan sebagai salah satu indikator pengelolaan yang lebih baik. Persentase bisa didapatkan dengan membagi jumlah total selisih semua obat yang diukur dengan jumlah total fisik semua obat yang diukur.
6.      Prosentase rata-rata waktu kekosongan obat.
Waktu kekosongan obat didefisikan sebagai jumlah hari obat kosong dalam satu tahun. Prosentase rata-rata waktu kekosongan obat adalah Prosentase jumlah hari kekosongan obat dalam satu tahun. Penilaian bisa dilakukan untuk jenis-jenis obat tertentu maupun seluruh obat .Data bisa didapatkan dengan membagi jumlah hari kekosongan obat-obat yang diukur dalam setahun dibagi dengan jumlah jenis obat yang diukur selama setahun dikali jumlah hari kerja Puskesmas dalam setahun.
7.      Prosentase obat yang tidak diresepkan.
Jumlah jenis obat yang tidak pernah diresepkanselama 6 (enam) bulan dibagi jumlah jenis obat yang tersedia. Obat yang tidak diresepkan akan menyebabkan terjadinya kelebihan obat dan inefisiensi. Untuk itu perlu dilakukan komunikasi antara  pengelola obat dengan pengguna obat agar tidak terjadi hal seperti ini.

2.2              Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Tujuan pelayanan farmasi klinik:
1.      Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
2.      Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas, keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
3.      Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan meningkatkan kepatuhan pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.
4.      Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan penggunaan Obat secara rasional.
Kegiatan pelayanan farmasi klinik terdiri dari:
1.      Pengkajian dan pelayanan Resep
2.      Pelayanan Informasi Obat (PIO)
3.      Konseling
4.      Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap)
5.      Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
6.      Pemantauan Terapi Obat (PTO)
7.      Evaluasi Penggunaan Obat
2.2.1        Pengkajian dan Pelayanan Resep
Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. 
Tujuan:
1.      Pasien memperoleh Obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan.
2.      Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan.
Kegiatan Penyerahan (Dispensing) dan Pemberian Informasi Obat terdiri dari:
1.      menyiapkan/meracik Obat
2.      memberikan label/etiket
3.      menyerahan sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai pendokumentasian


2.2.2        Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Tujuan:
1.      Menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat.
2.      Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat (contoh: kebijakan permintaan obat oleh jaringan dengan mempertimbangkan stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan yang memadai).
3.      Menunjang penggunaan obat yang rasional.
Kegiatan:
1.      Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen/masyarakat secara pro aktif dan pasif melalui penyuluhan maupun buletin, leaflet, label obat, poster, majalah dinding.
2.      Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap muka.
3.      Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
4.      Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan Pelayanan Kefarmasian.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
1.      Sumber informasi Obat.
2.      Tenaga.
3.      Sarana
2.2.3        Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien. Tujuan konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan obat.
            Kegiatan: 
1.      Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
2.      Menanyakan hal-hal yang menyangkut obat yang diberikan oleh dokter kepada pasien dan menjelaskan atau memperagakan cara penggunaan obat.
3.      Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1.      Kriteria pasien: 
a.       Pasien rujukan dokter.
b.      Pasien dengan penyakit kronis, geriatrik, atau pediatrik
c.       Pasien dengan obat yang berindeks terapetik sempit dan polifarmasi.
d.      Pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.
2.      Sarana dan prasarana:
a.       Ruangan khusus.
b.      Kartu pasien/catatan konseling.
Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan mendapat risiko masalah terkait Obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik Obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan Obat, kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan Obat dan/atau alat kesehatan perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi Obat.
2.2.4        Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain.
Tujuan:
1.      Memeriksa Obat pasien.
2.      Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
3.      Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan Obat.
4.      Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam terapi pasien.
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan, pembuatan dokumentasi dan rekomendasi.
2.2.5        Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Tujuan:
1.      Menemukan efek samping Obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang.
2.      Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping Obat yang sudah sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan.
Kegiatan:
1.      Menganalisis laporan efek samping Obat.
2.      Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping Obat.
3.      Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
4.      Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
2.2.6        Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi Obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
Tujuan:
1.      Mendeteksi masalah yang terkait dengan Obat.
2.      Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan Obat.
Kriteria pasien:
1.      Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2.      Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3.      Adanya multidiagnosis.
4.      Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5.      Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
Kegiatan: 
1.      Memilih pasien yang memenuhi kriteria dan membuat catatan awal.
2.      Memberikan penjelasan pada pasien.
3.      Mengambil data yang dibutuhkan
4.      Melakukan evaluasi.
5.      Memberikan rekomendasi.
2.2.7        Evaluasi Penggunaan Obat
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional).
Tujuan: 
1.      Mendapatkan gambaran pola penggunaan Obat pada kasus tertentu.
2.      Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan Obat tertentu.
Setiap kegiatan pelayanan farmasi klinik, harus dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional. 
Pencatatan Pelayanan Informasi Obat dan Konseling
Dalam Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dijelaskan tata cara pencatatan dan pelaporan berikut format Pencatatan Pemberian Informasi Obat dan Konseling dan Format Laporan Pelayanan Kefarmasian.


Pelaporan
Pelaporan pemberian informasi merupakan rekapitulasi pemberian informasi obat yang dilakukan dalam jarak waktu 1 bulan. Hasil rekapitulasi dilaporkan secara berjenjang kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktorat Pelayanan Kefarmasian.
2.3              Penggunaan Obat Rasional
2.3.1        Deskripsi
Penggunaan obat yang rasional (POR) merupakan salah satu langkah dalam upaya pembangunan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu, di setiap fasilitas kesehatan, sehingga tercapai keselamatan pasien (patient safety).  WHO memperkirakan bahwa lebih dari 50 % dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Untuk mengatasi hal tersebut perlu diterapkan penggunaan obat rasional untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau. Penggunaan obat dikatakan rasional (WHO, 1985) bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau untuk pasien dan masyarakat. 
Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:
a.       Tepat Diagnosis
Penggunaan obat dikatakan rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosa tidak tepat, maka terapi dan pemilihan obat menjadi tidak tepat.
b.      Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik, misalnya antibiotik dan diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya untuk pasien yang memiliki gejala infeksi bakteri. Contoh lainnya adalah pemberian simvastatin harus dilengkapi dengan hasil pemeriksaan kadar kolesterol darah terapi simvastatin tanpa melakukan pemeriksaan kadar kolesterol (LDL), dikatakan tidak rasional.
c.       Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit dan selalu waspada terhadap kemungkinan pasien alergi terhadap obat tertentu.
Contoh: pemberian siprofloksasin untuk mengatasi ISPA pada anak. Gejala demam terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan inflamasi. Untuk sebagian besar demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan, karena disamping efek antipiretiknya, obat ini relatif paling aman dibandingkan dengan antipiretik yang lain. Pemberian antiinflamasi non steroid (misalnya ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam yang terjadi akibat proses peradangan atau inflamasi.
d.      Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat dengan rentang terapi yang sempit akan sangat berisiko menimbulkan efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. Contoh: pemerian kaptopril dengan dosis terendah pada pasien hipertensi yang sudah terbiasa mendapatkan dosis 3 x 25 mg.
e.       Tepat Cara Pemberian
Cara pemberian obat tergantung kepada bentuk sediaan dan kondisi pasien. Misalnya obat antasida seharusnya dikunyah dulu sebelum ditelan. Demikian pula dengan pemberian tablet suldaferrosus seharusnya tidak boleh diberikan bersama susu.
f.       Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Obat yang harus diminum 3 kali sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam. Jika 2 kali sehari berarti harus diminum setiap 12 jam.
g.      Tepat Lama Pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan
h.      Waspada terhadap Efek Samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping yaitu efek yang tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. Misalnya muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
i.        Tepat Penilaian Kondisi Pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan karena risiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna.
Beberapa kondisi berikut harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian obat.
-          β-bloker (misalnya propranolol) hendaknya tidak diberikan pada penderita hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini memberi efek bronkhospasme.
-          Antiinflamasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada penderita asma, karena obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan serangan asma.
j.        Pemberian obat yang efektif, aman, mutu terjamin serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau
Pemilihan obat dalam Daftar Obat Esensial Nasional dan Formularium Nasional didahulukan karena telah dipertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh Tim Ahli
k.      Tepat Informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. Contoh:  - Pasien harus diinformasikan bahwa penggunaan rifampisin dapat menyebabkan urine berwarna merah. - Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama sekali.
l.        Tepat Tindak Lanjut
Pada saat pemberian terapi, harus dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan untuk pasien yang mengalami efek samping atau pasien tidak sembuh. Contoh: pemberian antidiabetes harus selalu diikuti dengan pemeriksaan kadar gula darah beberapa hari (minimal 1 minggu) setelah pemberian. 
m.    Tepat Penyerahan Obat
Proses penyiapan obat dan penyerahan obat (dispensing) harus dilakukan secara tepat oleh tenaga kefarmasian agar pasien mendapat obat yang benar dan disertai informasi obat yang tepat.
n.      Pasien Patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan
Ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
-          Jenis dan atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak.
-          Frekuensi pemberian obat terlalu sering.
-          Jenis sediaan obat terlalu beragam
-          Pemberian obat dalam waktu panjang tanpa disertai informasi obat.
-          Pasien tidak mendapatkan informasi/ penjelasan yang cukup mengenai cara minum/ menggunakan obat.
-          Timbulnya efek samping
2.3.2        Indikator Penggunaan Obat Rasional
WHO telah menyusun indikator inti dan indikator tambahan sebagai acuan dalam mengukur capaian keberhasilan upaya dan intervensi dalam peningkatan penggunaan obat rasional. Berdasarkan hal itu, Kementerian Kesehatan telah menetapkan Indikator Kinerja Program (IKP) dan Indikator Kinerja Kegiatan (IKK). Indikator ini merupakan alat ukur pencapaian kinerja pemerintah termasuk di fasilitas kesehatan dalam upaya peningkatan penggunaan obat rasional. Indikator kinerja ditetapkan untuk 3 penyakit yaitu Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Non Pneumonia, Diare Non Spesifik, penggunaan injeksi pada myalgia dan rerata obat perlembar resep.
1.      Indikator inti
a.       Indikator Peresepan
1)      Rerata jumlah item dalam tiap resep.
2)      Persentase peresepan dengan nama generik.
3)      Persentase peresepan dengan antibiotik.
4)      Persentase peresepan dengan suntikan.
5)      Persentase peresepan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial.
b.      Indikator Pelayanan
1)      Rerata waktu konsultasi.
2)      Rerata waktu penyerahan obat.
3)      Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan.
4)      Persentase obat yang dilabel secara adekuat.
c.       Indikator Fasilitas
1)      Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar.
2)      Ketersediaan Daftar Obat Esensial
3)      Ketersediaan key drugs
2.      Indikator tambahan
Indikator ini dapat diperlakukan sebagai tambahan terhadap indikator inti. Contoh indikator tambahan:
a.       Persentase pasien yang diterapi tanpa obat
b.      Rerata biaya obat tiap peresepan
c.       Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang diberikan
3.      Indikator Kinerja Program dan Indikator Kinerja Kegiatan
a.       Persentase Penggunaan Antibiotik pada kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Non Pneumonia
b.      Persentase Penggunaan Antibiotik pada kasus Diare Non Spesifik
c.       Persentase Penggunaan Injeksi pada Kasus Myalgia
d.      Rerata Item per obat per lembar resep pada diagnosa tunggal
Petugas di puskesmas melakukan pencatatan dan pelaporan indikator POR secara berkala. Puskesmas mengirimkan data indikator peresepan per triwulan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Selanjutnya Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota melaporkan kepada Dinas Kesehatan Provinsi untuk diteruskan kepada Kementerian Kesehatan c.q. Direktorat Pelayanan, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
           

Keterangan  :
Bulan  : bulan periode waktu pengambilan data
Tahun  : tahun pengambilan data
Kolom  1: diisi dari hasil perhitungan Persentase Penggunaan Antibiotik pada diagnosis ISPA Non-Pneumonia (Form.1)
Kolom  2: diisi dari hasil perhitungan Persentase Penggunaan Antibiotik pada Diagnosis Diare Non-pesifik (Form.2)
Kolom  3: diisi dari hasil perhitungan Persentase Penggunaan Antibiotik pada diagnosis Myalgia (Form.3)
Kolom  4: diisi dari hasil perhitungan Rerata Item Obat per lembar Resep pada diagnosis ISPA Non-Pneumonia (Form.1)
Kolom  5: diisi dari hasil perhitungan Rerata Item Obat per lembar Resep pada diagnosis Diare Non-Spesifik (Form. 2)
Kolom  6: diisi dari hasil perhitungan Rerata Item Obat per lembar Resep pada diagnosis Myalgia (Form. 3)
Kolom  7: merupakan nilai rerata item obat/lembar resep dari ke 3 diagnosis yang diisi dengan rumus sebagai berikut :

























BAB III
PENUTUP

3.1              Kesimpulan
Puskesmas merupakan prospek pelayanan kesehatan ke depan yang baik, dimana obat dan pelayanan akan lebih banyak dilaksanakan di gate keeper, termasuk pelayanan kefarmasian. Apoteker yang bekerja di fasilitas kesehatan primer akan mempunyai peran yang sangat strategis dalam peningkatan penggunaan obat rasional.

3.2              Saran
Penulis menyadari bahwa penulisan ini belum mencapai titik kesempunaan, jadi kritikan yang membangun sangat diharapkan.



































DAFTAR PUSTAKA


1.      Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2.      Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 tahun 2014 tentang Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik (e-katalogue)
3.      Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi JKN untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Faskes Tk. I Milik Pemerintah Daerah
4.      Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
5.      Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Puskesmas, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010
6.      Management Science for health, world health organization, 2012
Modul penggunaan obat rasional, Direktorat Pelayanan Kefarmasian, 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pelayanan Penyakit Menular TB di Keluarga

BAB I PENDAHULUAN 1.1               Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh kuman...