Kamis, 14 September 2017

METODE PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEBIDANAN


BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Pada saat ini permasalahan pokok yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masalah kesehatan yang terjadi pada kelompok ibu dan anak, yang ditandai antara lain masih tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Kematian pada masa maternal mencerminkan kemampuan negara dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Masalah kesehatan ibu dan anak masih tetap menempatkan posisi penting karena menyangkut kualitas sumber daya manusia yang paling hulu yaitu masa kehamilan, persalinan dan tumbuh kembang anak.
Angka Kematian Ibu menurut SKRT tahun 1995 adalah 373 per 100.000 kelahiran hidup, hasil survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukan bahwa sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup atau setiap jam, 2 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab. Berdasarkan hasil konferensi Internasionan Kependudukan dan Pembangunan (international Conference Population Development (ICPD)) di Kairo, AKI tersebut masih jauh dari target internasional yaitu 125 per 100.000 kelahiran hidup sampai tahun 2005 dan 75 per 100.000 kelahiran hidup sampai tahun 2015.
Terkait dengan tingginya AKI, hasil Assessment Safe Motherhood di Indonesia tahun 1990/1991 menyebutkan diantaranya bahwa Kematian ibu terjadi 10 kali lebih sering pada saat persalinan dibandingkan pada masa kehamilan.

1.2        Rumusan Masalah
1.      Apa sejarah dan riwayat mutu pelayanan kebidanan?
2.      Apa pengertian, tujuan, dan manfaat mutu pelayanan kebidanan?
3.      Apa upaya peningkatan mutu pelayanan kebidanan?

1.3         Tujuan Penulisan
1.3.1  Tujuan Umum
Untuk mengetahui seperti apa metode peningkatan mutu pelayanan kebidanan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang  mutu pelayanan kebidanan seperti sejarah, riwayat,pengertian, tujuan, manfaat serta upaya peningkatan mutu.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Metode Peningkatan Mutu Pelayanan Kebidanan
2.1.1    Sejarah Dan Riwayat

2.1.1.1 Sejarah Perkembangan Pelayanan Kebidanan di Indonesia
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807, di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hendrik William Daendles, para dukun dilatih untuk melakukan pertolongan persalinan, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak tersedianya pelatih kebidanan.
Pelayanan kesehatan pada saat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849, dibuka pendidikan Dokter Jawa di Batavia, tepatnya di Rumah Sakit Militer Belanda yang sekarang dikenal dengan RSPAD Gatot Subroto. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda bernama dr. W. Bosch. Lulusan sekolah ini kemudian bekerja di rumah sakit dan juga di masyarakat. Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Pada tahun 1952, mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Pelatihan untuk para dukun masih berlangsung sampai sekarang. Pelatihan ini diberikan oleh bidan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat di lakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta, yang akhirnya dilakukan pula di kota-kota besar lainnya di nusantara ini. Seiring dengan pelatihan tersebut, didirikan pula Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dengan bidan sebagai penanggung jawab pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup pelayanan antenatal, postnatal, pemeriksaan bayi dan anak, termasuk imunisasi serta penyuluhan gizi. Sedangkan di luar BKIA, bidan memberi pertolongan persalinan di rumah keluarga dan melakukan kunjungan rumah sebgai upaya tindak lanjut pascapersalinan.
Bermula dari BKIA, kemudian terbentuklah suatu pelayanan terintegrasi bagi masyarakat yang dinamakan Pusat Kesahatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberi pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung dan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, termasuk pelayanan keluarga berencana baik di luar gedung maupun di dalam gedung. Pelayanan kebidanan yang diberikan di luar gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos pelayanan terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup lima kegiatan yaitu pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi, dan kesehatan lingkungan.
Mulai tahun 1990, pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini merupakan Instruksi Presiden (Inpres) yang disampaikan secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992. Kebijakan ini mengenai perlunya mendidik bidan untuk ditempatkan di desa. Tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin, dan nifas, serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk pembinaan dukun bayi (paraji). Sehubungan dengan itu, bidan desa juga menjadi pelaksana pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang dilakukan sejalan dengan tugas utamanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan ibu. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, bidan desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya, mengadakan pembinaan Posyandu di wilayah kerjanya, serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas adalah bentuk pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan bidan di desa berorientasi pada kesehatan masyarakat, sedangkan bidan yang bekerja di rumah sakit berorientasi pada individu. Tugas bidan di rumah sakit mencakup pelayanan di poliklinik antenatal, poliklinik keluarga berencana, ruang perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, dan ruang nifas. Bidan di rumah sakit juga memberi pelayanan bagi klien yang mengalami gangguan kesehatan reproduksi, mengajarkan senam hamil, serta memberi pendidikan perinatal.
Titik tolak Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang menekankan pada kesehatan reproduksi (reproductive health), memperluas area garapan pelayanan bidan, area tersebut meliputi :
1.      Safe motherhood; termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus.
2.      Keluarga berencana
3.      Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
4.      Kesehatan reproduksi remaja
5.      Kesehatan reproduksi orang tua
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi, dan tugasnya didasarkan pada kemampuan serta kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat serta kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Permenkes tersebut terdiri atas :
1.      Permenkes No. 5380/IX/1963 yang menyatakan bahwa wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
2.      Permenkes No. 363/IX/1980 yang kemudian diubah menjadi Permenkes 623/1989, menyatakan bahwa wewenang bidan dibagi menjadi dua, yaitu wewenang umum dan khusus. Dalam wewenang khusus ditetapkan bahwa bidan melaksananan tindakan khusus di bawah pengawasan dokter. Hal ini berarti bahwa bidan dalam melaksanakan tugasnya tidak bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan. Berdasarkan Permenkes ini, bidan melaksanakan praktik perorangan di bawah pengawasan dokter.
3.      Permenkes No. 572/VI/1996 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan. Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan tersebut disertai kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup :
a.      Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak
b.      Pelayanan keluarga berencana
c.      Pelayanan kesehatan masyarakat
4.      Permenkes No. 900.Menkes/SK/VII/2002 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan. Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan untuk memberikan pelayanan yang meliputi :
a.      Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan pranikah, antenatal, intaranatal, postnatal, bayi baru lahir, dan balita.
b.      Pelayanan keluarga berencana yang meliputi pemberian obat dan alat kontrasepsi melalui oral, suntikan, pemasangan dan pencabutan AKDR dan AKBK tanpa penyulit.
Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi, dan rujukan sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan, serta kemampuannya. Wewenang bidan dalam pelayanan kebidanan di bidang keluarga berencana mencakup penyediaan alat kontrasepsi : oral (pil KB), suntik, kondom, tisu vaginal, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK), baik pemasangan maupun pencabutan. Pada keadaan darurat, bidan juga diberi wewenang untuk memberikan pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk menyelamatkan jiwa (misalnya: kuretasi digital untuk mengangkat sisa jaringan pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia dan hipotermia).
Permenkes tersebut juga menegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktiknya harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman, serta berdasarkan standar profesi. Di samping itu, bidan diwajibkan merujuk kasus-kasus yang tidak dapat ditangani, menyimpan rahasia, meminta persetujuan untuk tindakan yang akan dilaksanakan, memberi informasi, serta membuat rekam medis dengan baik. Petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci mengenai kewenangan bidan terdapat pada petunjuk pelaksanaan (jutlak) yang dituangkan dalam Lampiran Keputusan Dirjen Binkesmas No. 1506/tahun 1997.
Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidak mudah, karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan mengandung tuntutan bahwa bidan sebagai tenaga profesional harus memiliki kemampuan profesi yang mandiri. Pencapaian kemampuan tersebut diperoleh melalui institusi pelayanan yang meningkatkan kemampuan bidan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Perkembangan pelayanan kebidanan menuntut kualitas bidan yang handal dan profesional serta upaya pemantauan (monitoring) pelayanan. Oleh karena itu, adanya Konsil Kebidanan adalah suatu keharusan. Pendidikan bidan yang berorientasi pada profesioanl dan akademik serta memiliki kemampuan melakukan penelitian adalah suatu terobosan dan syarat utama untuk percepatan penigkatan kualitas pelayanan kebidanan.

2.1.1.2 Perkembangan Pendidikan Kebidanan di Dalam Negeri
Pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan beriringan untuk memenuhi kebutuhan/tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kebidanan. Pendidikan bidan mencakup pendidikan formal dan nonformal. Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851, seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didik akibat adanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.
Pendidikan bidan bagi wanita pribumi dibuka kembali di Rumah Sakit Militer di Batavia pada tahun 1902. Pada tahun 1904, pendidikan bidan bagi wanita Indonesia juga dibuka di Makassar. Lulusan dari pendidikan ini harus bersedia ditempatkan di mana pun tenaga mereka dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
Tahun 1911-1912 dimulai program pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di Rumah Sakit Umum Pusat Semarang dan Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo di Batavia dengan lama pendidikan selam empat tahun. Calon murid berasal dari lulusan Holandia Indische School (setingkat SD selama 7 tahun) dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun 1914, peserta didik wanita mulai diterima untuk mengikuti program pendidikan tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut, perawat wanita dapat meneruskan ke pendidikan kebidanan selama dua tahun, sedangkan perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjutan juga selama dua tahun.
Pada tahun 1935-1938, pemerintah colonial Belanda mulai membuka pendidkan bidan lulusan Mulo (Setingkat SMP) dan pada waktu yang hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain di Jakarta (RSB Budi Kemuliaan) serta di Semarang (RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo). Di tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang mengklasifikasikan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikan Mulo dan pendidikan kebidanan selama tiga tahun disebut Bidan Kelas Satu (Vroedvrouw tweede klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada zaman penjajahan Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.
Pada tahun 1950-1953, dibuka sekolah bidan untuk lulusan SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenjang Kesehatan E (PK/E) atau pembantu bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun.
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960, KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan, terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967, KTB ditutup.
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya, pendidikan ini berlangsung satu tahun kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972, institusi pendidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.
Pada tahun 1970, dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata di seluruh provinsi.
Pada tahun 1974, mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan nonsarjana. Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan menciptakan tenaga multitujuan di lapangan yang salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal. Akan tetapi, karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil. Pada tahun 1975 sampai 1984, institusi pendidikan bidan ditutup sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup dengan wajar.
Tahun 1981 dibuka pendidikan diploma I kesehatan ibu dan anak untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua institusi. Pada tahun 1985, dibuka lagi program pendidikan bidan (PPB) yang menerima lulusan dari PR dan SPK. Pada saat itu, dibutuhkan bidan yang memiliki kewenangan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak setta keluarga berencana di masyarakat. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
Tahun 1989 dibuka program pendidikan bidan secara nasional yang membolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A) dengan lama pendidkan satu tahun. Lulusannya ditempatkan di desa-desa dengan tujuan memberi pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menurunkan angka kematian ibu dan anak. Untuk itu, pemerintah menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT)-kontrak dengan pemerintah selama tiga tahun yang kemudian dapat diperpanjang sampai 2-3 tahun lagi.
Penempatan bidan di desa (BDD) ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah. BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak hanya kemampuan klinis sebagai bidan tetapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling, dan kemapuan untuk mengerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan A diselenggarakan dengan peserta didik yang cukup banyak. Diharapkan pada tahu 1996, sebagian besar desa sudah memiliki inimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan sebagi seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat (hanya satu tahun) dan jumlah peserta didik yang terlalu besar. Kesempatan peserta didik untuk praktik di klinik kebidanan sangat kurang sehingga tingkat kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh seorang bidan profesional tidak dapat tercapai.
Pada tahun 1993, dibuka Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari lulusan akademi perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah menyiapkan tenaga pengajar Pendidikan Program Bidan A. hasil penelitian terhadap kemampuan klinis kebidanan lulusan ini menunjukkan bahwa kompetensi bidan yang diharapkan tidak tercapai karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu hanya satu tahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua angkatan (1995-1996) kemudian ditutup. Pada tahun 1993, juga dibuka Pendidikan Bidan Program C yang menerima murid dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 provinsi yaitu Aceh, Bengkulu, Lampung, dan Riau (wilayah Sumatera); Kalimanta Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (wilayah Kalimantan); Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya. Pendidikan ini memiliki kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan dalam waktu enam semester.
Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning) di tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/VII/1994. Diklat Jarak Jauh (DJJ) bidan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan tugasnya serta diharapkan dapat memebri dampak pada penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi. DJJ Bidan dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah.
Pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di Provinsi. DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 provinsi. Pada Tahap II (1996-1997), DJJ dilaksanakan di 16 provinsi dan pada tahap III (1997-1998), DJJ dilaksanakan di 26 provinsi. Secara kumulatif pada tahap I-III, DJJ telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439 (55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV (1998-1999), DJJ dilaksanakan fi 26 provinsi dengan jumlah tiap provinsinya adalah 60 orang, kecuali Provinsi Maluku, Irian Jaya, dan Sulawesi Tengah masing-masing hany 40 orang, dan Provinsi Jambi 50 orang.
Selain pelatihan DJJ, pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal (Life Saving Skill, LSS) dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul. Pelatihan ini dikoordinasikan oleh Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas., sedangkan pelaksananya dilakukan di rumah sakit provinsi/kabupaten.Ditinjau dari prosesnya, penyelenggaraan ini dinilai tidak efektif. Pada tahun 1996, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwife (ACNM) serta rumah sakit swasta mengadakan training of trainer (TOT) LSS yang pesertanya adalah anggota IBI berjumlah 8 orang, yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di Pengurus Pusat IBI. Tim pelatih LSS ini mengadakan acara TOT dan pelatihan untuk para bidan desa. (yang dilaksanakan di 14 provinsi) dan bidan praktik swasta (yang dilaksanakan secara swadaya) serta kepada guru/dosen dari diploma kebidanan.
Pada tahun 1995-1998, IBI bekerja sama dengan Mother Care melakukan pelatihan dan peer review bagi bidan rumah sakit., bidan puskesmas, serta bidan desa di Provinsi Kalimantan Selatan. Pada tahun 2000, telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Materna Neonatal Health (MNH) yang sampai saat ini telah memberi pelatihan APN di beberapa provinsi/ kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya dijukan untuk bidan di pelayanan tetapi juga bidan yang menjadi guru atau dosen di sekolah/akademi kebidanan. Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, untuk meningkatkan kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan lokakarya organisasi dengan materi pengembangan organisasi (Organization Development, OD) dilaksanakan setiap tahun sebanyak dua kali mulai tahun 1996 sampai tahun 2000 dengan biaya dari UNICEF.






2.1.2     Pengertian, Tujuan, Manfaat

2.1.2.1 Falsafah Mutu
Mutu (quality) dapat didefinisikan sebagai keseluruhan karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan kemampuan dalam memuaskan kebutuhan konsumen, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat. Perbaikan mutu merupakan upaya transformasi budaya kerja organisasi melalui pengalaman belajar sehingga merubah cara berpikir setiap orang yang terlibat dalam organisasi dan cara organisasi dikelola, sehingga berubah ke arah yang lebih baik.

2.1.2.2 Pengertian Jaminan Mutu (Quality Assurance (QA))
Jaminan Mutu (QA) adalah suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan, sistematis, obyektif dan terpadu untuk; Menetapkan masalah dan penyebabnya berdasarkan standar yang telah ditetapkan, menetapkan upaya penyelesaian masalah dan melaksanakan sesuai kemampuan menilai pencapaian hasil dengan menggunakan indikator yang ditetapkan, menetapkan dan menyusun tindak lanjut untuk meningkatkan mutu pelayanan. Walaupun mutu tidak selalu dapat dijamin tetapi dapat diukur. Jika bisa diukur, berarti bisa ditingkatkan dan dapat disempurnakan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi indikator kunci mutu dalam pelayanan, memonitor indikator tersebut dan mengukur mutu hasilnya. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah mengidentifikasi proses – proses kunci yang mengarah pada hasil tersebut (outcome). Dengan berfokus pada upaya peningkatan proses, tingkat mutu dari hasil yang dicapai akan meningkat. Jadi, upaya pendekatan yang dilakukan diawali dari jaminan mutu (QA), mengarah pada peningkatan mutu yang proaktif (QI).

2.1.2.3 Tujuan dan Manfaat ( Kegunaan QA )
1.      Dapat lebih meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan.
Peningkatan efektifitas yang dimaksud di sini erat hubungannya dengan dapat diselesaikannya masalah yang tepat dengan cara penyelesaian masalah yang benar. Karena dengan diselenggarakannya program menjaga mutu dapat diharapkan pemilihan masalah telah dilakukan secara tepat serta pemilihan dan pelaksanaan cara penyelesaian masalah telah dilakukan secara benar.
2.      Dapat lebih meningkatkan efesiensi pelayanan kesehatan.
Peningkatan efesiensi yang dimaksudkan disini erat hubungannya dengan dapat dicegahnya penyelenggaraan pelayanan yang berlebihan atau yang dibawah standar. Biaya tambahan karena pelayanan yang berlebihan atau karena harus mengatasi berbagai efek samping karena pelayanan yang dibawah standar akan dapat dicegah.
3.      Dapat lebih meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Peningkatan penerimaan ini erat hubungannya dengan telah sesuainya pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan. Apabila peningkatan penerimaan ini dapat diwujudkan, pada gilirannya pasti akan berperan besar dalam turut meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
4.     Dapat melindungi pelaksana pelayanan kesehatan dari kemungkinan munculnya gugatan hukum.
Pada saat ini sebagai akibat makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat serta diberlakukannya berbagai kebijakan perlindungan publik, tampak kesadaran hukum masyarakat makin meningkat pula. Untuk melindungi kemungkinan munculnya gugatan hukum dari masyarakat yang tidak puas terhadap pelayanan kesehatan, tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan kecuali berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang terjamin mutunya. Dalam kaitan itu peranan program menjaga mutu jelas amat penting, karena apabila program menjaga mutu dapat dilaksanakan dapatlah diharapkan terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, yang akan berdampak pada peningkatan kepuasan para pemakai jasa pelayanan kesehatan.

2.1.2.4 Jenis QA (Jaminan Mutu)
1.      Program menjaga mutu prospektif (Yang diselenggarakan sebelum pelayanan kesehatan) Adalah program menjaga mutu yang diselenggarakan sebelum pelayanan kesehatan. Pada bentuk ini perhatian utama lebih ditunjukkan pada standar masukan dan standar lingkungan yaitu pemantauan dan penilaian terhadap tenaga pelaksana, dana, sarana, di samping terhadap kebijakan, organisasi, dan manajemen institusi kesehatan. Prinsip pokok program menjaga mutu prospektif sering dimanfaatkan dan tercantum dalam banyak peraturan perundang-undangan, di antaranya : Standardisasi (Standardization),perizinan (Licensure), Sertifikasi (Certification), akreditasi (Accreditation). Prinsip-prinsip pokok program menjaga mutu
    1. Standarisasi
Standar adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna yang dipergunakan sebagai batas penerimaan minimal, atau disebut pula sebagai kisaran variasi yang masih dapat diterima (Clinical Practice Guideline, 1990).
    1. Lisensi (Perizinan)
1)     Standarisasi perlu diikuti dengan perizinan untuk mencegah pelayanan yang tidak bermutu
2)     Izin menyelenggarakan pelayanan kesehatan hanya diberikan kepada institusi kesehatan yang telah memenuhi standar yang telah ditetapkan
    1. Sertifikasi
1)     Sertifikasi adalah tindak lanjut dari perizinan, yakni memberikan sertifikat (pengakuan) kepada institusi kesehatan yang benar-benar telah dan atau tetap memenuhi persyaratan
2)     Ditinjau serta diberikan secara berkala
    1. Akreditasi
1)     Akreditasi adalah bentuk lain dari sertifikasi yang nilainya dipandang lebih tinggi
2)     Dilakukan secara bertingkat, yakni sesuai dengan kemampuan institusi kesehatan.
3)     Ditinjau serta diberikan secara berkala.

2.1.2.5 Program menjaga mutu konkruen
Yang dimaksud dengan Program menjaga mutu konkuren adalah yang diselenggarakan bersamaan dengan pelayanan kesehatan. Pada bentuk ini perhatian utama lebih ditujukan pada standar proses, yakni memantau dan menilai tindakan medis, keperawatan dan non medis yang dilakukan.

a.      Diselenggarakan bersamaan dengan pelayanan kesehatan
b.      Perhatian utama pada standar proses, memantau dan menilai tindakan medis dan non medis yg dilakukan. Apabila kedua tindakan tersebut tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, maka berarti pelayanan kesehatan yang diselenggarakan kurang bermutu.
c.      Proram menjaga mutu ini paling sulit dilaksanakan, hal ini antara lain disebabkan karena ada faktor tenggang rasa antara sesama teman sejawat yang dinilai.

2.1.2.6 Program menjaga mutu retrospektif
Yang dimaksud dengan program menjaga mutu restrospektif adalah yang diselenggarakan setelah pelayanan kesehatan. Pada bentuk ini perhatian utama lebih ditujukan pada standar keluaran, yakni memantau dan menilai penampilan pelayanan kesehatan, maka obyek yang dipantau dan dinilai bersifat tidak langsung, dapat berupa hasil kerja pelaksana pelayanan .atau berupa pandangan pemakai jasa kesehatan. Contoh program menjaga mutu retrospektif adalah : Record review, tissue review, survei klien dan lain-lain.
a.      Review Rekam Medis
Penampilan pelayanan dinilai dari rekam medis yang digunakan pada pelayanan kesehatan. Semua catatan yang ada dalam rekam medis dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan.
b.      Review Jaringan
Penampilan pelayanan kesehatan yang dinilai adalah dari jaringan yang diangkat pada tindakan pembedahan. Misalnya tindakan apendiktomi, jika gambaran patologi anatomi dari jaringan yang diangkat sesuai degan diagnosa yang ditegakkan, maka mutu pelayanannya baik.
c.      Survei Klien
Penampilan pelayanan dinilai dari pandangan pemakai jasa.

2.1.2.7 Program menjaga mutu Internal
a.      Program Menjaga Mutu dilaksanakan oleh suatu organisasi yang dibentuk di dalam institusi kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan.Sebaiknya keanggotaan organisasi pelaksana program menjaga mutu adalah mereka yang meyelenggarakan pelayanan kesehatan (dapat semuanya atau hanya perwakilan).
b.      Pembentukan organisasi sebaiknya pada setiap unit organisasi yang bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

2.1.2.8 Program menjaga mutu Eksternal
a.      Dilaksanakan oleh suatu organisasi khusus yang dibentuk di luar institusi pelayanan kesehatan
Merupakan pelengkap program menjaga mutu internal, yang perannya lebih banyak bersifat lembaga pembanding. (Apabila terdapat perselisihan pendapat tentang hasil penilaian mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh program menjaga mutu internal) Jika dibandingkan antara program menjaga mutu internal dengan program menjaga mutu eksternal maka program menjaga mutu internal yang lebih baik, karena program menjaga mutu akan lebih mudah tercapai (penyelenggaranya terlibat langsung). Juga untuk dapat menyelenggarakan program menjaga mutu eksternal dibutuhkan sumber daya yg tidak sedikit (dalam banyak hal sulit dipenuhi)
2.1.3     Upaya Peningkatan Mutu

2.1.3.1 Siklus Deming
Siklus PDCA atau Plan – Do – Check – Action dipopulerkan oleh W Edwards Deming (14 Oktober 1900 – 20 Desember 1993) seorang Professor, Pengarang Buku, Pengajar dan Konsultan. Ia dianggap sebagai bapak pengendalian kualitas modern sehingga siklus ini sering disebut juga dengan siklus Deming. Siklus PDCA atau Siklus ‘Rencanakan – Kerjakan – Cek – Tindaklanjuti adalah suatu proses pemecahan masalah empat langkah yang umum digunakan dalam pengendalian kualitas.
Deming yang merupakan pencetus dari siklus PDCA ini mengatakan bahwa jika organisasi ingin menghasilkan mutu dari produk atau jasa yang akan dihasilkan, maka roda siklus PDCA harus berputar. Artinya, proses Plan Do Check Action harus dijalankan. Pekerjaan harus direncanakan. Rencana yang telah dibuat harus dijalankan. Pelaksanaan pekerjaan dimonitoring, diukur atau dinilai. Hasil penilaian dilakukan analisis, hasil analisis digunakan untuk merencanakan pengembangan berikutnya. Demikian seterusnya sehingga siklus PDCA berjalan dan organisasi akan selalu mampu memenuhi standar mutu dan berkembang secara berkelanjutan.
Siklus PDCA dapat diibaratkan seperti sebuah bola yang harus di dorong naik menuju ke arah tujuan yang telah ditetapkan yang letaknya di atas. Untuk itu diperlukan upaya dan tenaga yang tidak sedikit untuk mencapai tujuan tersebut. Tanpa upaya, mustahil bola siklus PDCA tersebut akan mencapai tujuannya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai mutu tertentu itu harus diupayakan, diusahakan dan di dukung oleh semua pihak yang berkepentingan. Mutu yang baik tidak mungkin datang dengan sendirinya. Namun dalam upaya mendorong bola siklus PDCA tersebut ke atas, selain diperlukan upaya dan tekad untuk mendorongnya sampai di atas juga diperlukan alat untuk mengganjal agar bola siklus PDCA ini tidak turun ke bawah tetapi bisa di tahan pada level tertentu. Alat untuk mengganjal hal tersebut adalah standar. Jika target pada level tertentu sudah tercapai maka bola siklus PDCA ini bisa di dorong lagi lebih ke atas. Demikian seterusnya sampai bola siklus PDCA ini mencapai tujuan :
a.      Siklus PDCA
1)      Plan (Perencanaan)
Dalam tahapan siklus PDCA ini tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisa masalah. Tentukanlah masalahnya. Identifikasi dengan tepat. Beberapa management tools yang bisa digunakan dalam tahap ini antara lain Drill Down, Cause & Effect Diagrams dan The 5 Whys
2)      Do (Kerjakan)
Mengembangkan dan menguji beberapa solusi yang potensial. Fase ini melibatkan beberapa kegiatan:
a.   Menghasilkan solusi yang mungkin.
b.   Memilih yang terbaik dari solusi tersebut, bisa dengan menggunakan Impact Analysis
c.   Menerapkan atau menguji solusi yang di dapat pada skala kecil atau group kecil atau pada area yang terbatas. Dalam siklus PDCA, Do bukanlah menjalankan proses tetapi melakukan uji coba atau test. Proses dijalankan pada tahap Act.
3)    Check (Cek)
Mengukur tingkat efektifitas hasil uji test solusi yang dikerjakan dan menganalisa apakah hal itu bisa diterapkan dengan cara lain. Pada tahap ini kita mengukur seberapa efektif percobaan yang telah dilakukan pada tahap siklus PDCA sebelumnya yaitu: Do. Selain itu, tahapan ini juga menarik pembelajaran sebanyak mungkin sehingga nantinya bisa dihasilkan hasil yang lebih baik. Dalam tahapan siklus PDCA Do dan Check – dengan melihat skala dan area perbaikan yang akan dilakukan – kita dapat mengulangi tahapan ini sebelum ke tahapan berikutnya jika dirasa perlu. Jika hasilnya sudah memuaskan barulah kita dapat menuju ke tahap siklus PDCA berikutnya yaitu: Act
4)    Act (Tindak lanjuti)
Menindaklanjuti hasil untuk membuat perbaikan yang diperlukan. Ini berarti juga meninjau seluruh langkah dan memodifikasi proses untuk memperbaikinya sebelum implementasi berikutnya. Jika tahapan ini sudah selesai dan kita sudah sampai di tahapan berikutnya yang lebih baik, kita bisa mengulang proses ini dari awal kembali untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi. Siklus PDCA memberikan kita tahapan proses pemecahan masalah yang terukur dan akurat. Siklus PDCA ini efektif untuk:
a.      Membantu penerapan Kaizen atau Proses Perbaikan Terus Menerus. Ketika siklus PDCA ini diulangi kembali ia akan membuka kemungkinan untuk menemukan area baru yang perlu ditingkatkan.
b.      Mengindentifikasi solusi solusi baru untuk meningkatkan proses berulang secara signifikan.
c.      Membuka cakrawala yang lebih luas akan solusi masalah yang ada, mengujinya dan
d.      meningkatkan hasilnya dalam proses yang terkontrol sebelum diimplementasikan secara luas.
e.      Menghindari pemborosan sumber daya secara luas.

2.1.3.2 Penerapan TQM (Total Quality Manajemen)
TQM adalah pendekatan manajemen pada suatu organisasi, berfokus pada kualitas dan didasarkan atas partisipasi dari keseluruhan sumber daya manusia dan ditujukan pada kesuksesan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan dan memberikan manfaat pada anggota organisasi (sumber daya manusianya) dan masyarakat TQM juga diterjemahkan sebagai pendekatan berorientasi pelanggan yang memperkenalkan perubahan manajemen yang sistematik dan perbaikan terus menerus terhadap proses, produk, dan pelayanan suatu organisasi. Proses TQM memiliki input yang spesifik (keinginan, kebutuhan, dan harapan pelanggan), mentransformasi (memproses) input dalam organisasi untuk memproduksi barang atau jasa yang pada gilirannya memberikan kepuasan kepada pelanggan (output). Tujuan utama Total Quality Management adalah perbaikan mutu pelayanan secara terus-menerus. Dengan demikian, juga Quality Management sendiri yang harus dilaksanakan secara terus-menerus.
Delapan alat TQM yang diuraikan adalah sebagai berikut:
a.   Curah Pendapat (Sumbang Saran) – Brainstorming
Curah pendapat adalah alat perencanaan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kreativitas kelompok. Curah pendapat dipakai, antara lain untuk menentukan sebab-sebab yang mungkin dari suatu masalah atau merencanakan langkah-langkah suatu proyek.
b.   Diagram Alur (Bagan Arus Proses)
Bagan arus proses adalah satu alat perencanaan dan analisis yang digunakan, antara lain untuk menyusun gambar proses tahap demi tahap untuk tujuan analisis, diskusi, atau komunikasi dan menemukan wilayah-wilayah perbaikan dalam proses.
c.    Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis masalahmasalah dengan kerangka Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman).
d.    Ranking Preferensi
Alat ini merupakan suatu alat interpretasi yang dapat digunakan untuk memilih gagasan dan pemecahan masalah di antara beberapa alternatif.
e.    Analisis Tulang Ikan
Analisis tulang ikan (juga dikenal sebagai diagram sebab-akibat) merupakan alat analisis, antara lain untuk mengkategorikan berbagai sebab potensial dari suatu masalah dan menganalisis apa yang sesungguhnya terjadi dalam suatu proses.
f.     Penilaian Kritis
Penilaian kritis adalah alat bantu analisis yang dapat digunakan untuk memeriksa setiap proses manufaktur, perakitan, atau jasa. Alat ini membantu kita untuk memikirkan apakah proses itu memang dibutuhkan, tepat, dan apakah ada alternatif yang lebih baik.
g.    Benchmarking
Benchmarking adalah proses pengumpulan dan analisis data dari organisasi kita dan dibandingkan dengan keadaan di dalam organisasi lain. Hasil dari proses ini akan menjadi patokan untuk memperbaiki organisasi kita secara terus menerus. Tujuan benchmarking adalah bagaimana organisasi kita bisa dikembangkan sehingga menjadi yang terbaik.
h.    Diagram Analisa Medan Daya (Bidang Kekuatan)
Diagram medan daya merupakan suatu alat analisis yang dapat digunakan, antara lain untuk mengidentifikasi berbagai kendala dalam mencapai suatu sasaran dan mengidentifikasi berbagai sebab yang mungkin serta pemecahan dari suatu masalah atau peluang.

2.1.3.3 Penerapan ISO
ISO 9001:2000 merupakan salah satu standar persyaratan sistem manajamen mutu (SMM). ISO 9001:2000 adalah nomor acuan pada seri standar internasional yang menjabarkan kriteria tentang SMM. Pada standar tersebut terdapat persyaratan yang mendasar bagi organisasi apapun yang berminat untuk menerapkan standar ini. Standar ini merupakan seri ISO yang menjadi best seller dan diadopsi secara luas oleh organisasi di seluruh dunia. Keberhasilan seri ISO 9001:2000 disebabkan pada sistem yang diterapkan dilandasi oleh suatu sistem yang konsisten, system pengedalian dan pencegahan serta upaya peningkatan secara berkelanjutan (Indranata, 2006). Manajemen ISO 9001:2000 dapat meningkatkan mutu karena diterapkan prinsip PDCA (Plan Do Check Action), visi, misi, dan kebijakan jelas serta adanya sasaran mutu sebagai bentuk keinginan untuk meningkatkan mutu. Orientasi pelayanan mutu dan target adalah kepuasan pelanggan, masalah menjadi lebih jelas, persepsi dan pelayanan yang efektif dan efisien (Suardi, 2003).
Secara umum adanya pendekatan SMM memberikan manfaat yang sangat besar bagi setiap organisasi yang menerapkannya. Manfaat tersebut terlihat antara lain :
a.         Adanya konsistensi pelaksanaan/aktifitas di organisasi dan mampu telusur. Apabila SMM dilaksanakan dengan benar manfaat yang dirasakan adalah :
1)         Memberikan pendekatan praktik yang terbaik (best practice) yang sistematis untuk pencapaian manajemen mutu.
2)         Memastikan konsistensi operasi untuk memelihara mutu produk (barang dan jasa).
3)         Menetapkan kerangka kerja untuk proses peningkatan mutu lebih lanjut dengan membakukan proses guna memastikan konsistensi dan mampu telusur serta meningkatakan hubungan antar fungsi unit kerja/departemen pada organisasi yang mempengaruhi mutu.
b.         Adanya aspek pengendalian dan pencegahan Kunci pokok untuk menjaga mutu adalah pengendalian produk yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan mencegah produk yang jelek sampai di tangan pelanggan. Oleh karena itu sistem tersebut diperlukan untuk :
1)         Menentukan secara jelas tanggung jawab dan wewenang dari personel kunci yang mempengaruhi mutu.
2)         Mendokumentasikan prosedur secara baik dalam rangka menjalankan operasi proses bisnis pada aktifitas proses menghasilkan produk (product operation).
3)         Menerapkan sistem dokumentasi yang effektif melalui mekanisme dengan sistem audit internal dan tinjauan manajemen secara berkelanjutan.
c.         Dilihat dari aspek pembelajaran dan tumbuh kembang organisasi.
Manfaat penerapan SMM dari perpektif tersebut adalah :
1)         Sebagai sarana pemasaran yang efekfif.
2)         Dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui pendekatan secara sistematik dan terorganisir pada pemastian mutu.
3)         Dapat meningkatkan citra dan daya saing organisasi/organisasi.
4)         Dapat meningkatkan produktifitas dan mutu produk dengan memenuhi persyaratan pelanggan melalui kerjasama dan atau komunikasi yang lebih baik, pengendalian proses bisnis yang lebih sistematis, penurunan produk yang gagal, pencegahan pemborosan karena adanya pengendalian proses/aktifitas yang tidak effektif dan effisien.
5)         Dapat memberikan proses pembelajaran kepada staf atau seluruh personel dengan metode pelatihan yang sistematis melalui prosedur dan instruksi yang lebih baik.
6)         Dapat menjadi pemicu motivasi pimpinan puncak untuk menilai kinerja organisasinya karena adanya sasaran mutu yang secara berkelanjutan dipantau dan diukur serta dibandingkan dengan kinerja pesaingnya.
d.         Adanya pemastian mutu
Organisasi/perusahan memiliki sistem pemastian mutu yang terstruktur dan sistematis yang dapat digunakan untuk :
1)         Alat bantu untuk mengukur produktifitas dan kinerja SDM.
2)         Biaya yang effektif dan effisien karena adanya konsistensi dan keandalan pelaksanaannya.
3)         Sarana bekerja dengan benar dan terkendali disetiap waktu.
4)         Sistem Manajemen dengan kinerja optimal karena adanya sistem PDCA (Plan, Do, Check dan Action) yang mengendalikan mutu produk secara sistematis.
Setiap personel memiliki tanggung jawab ,wewenang dan kompetensi yang jelas di bidang tugasnya dalam melaksanakan aktifitas di organisasi/organisasi.

2.1.3.4 Prinsip Jaminan Mutu
1.   Berorientasi kedepan untuk mempertemukan kebutuhan dan harapan pasien dan masyarakat
2.   Memfokuskan pada sistem dan proses
3.   Menggunakan data untuk menganalisis proses penyampaian pelayanan
4.   Mendorong suatu pendekatan diri dalam pemecahan masalah dan peningkatan mutu
5.   Dimensi Mutu
Fedoroff dan Irawan (2006) merumuskan lima dimensi mutu yang menjadi dasar untuk mengukur kepuasan, yaitu :
a. Tangible (bukti langsung)
Yang meliputi fasilitas fisik, peralatan, personil, dan media komunikasi yang dapat dirasakan langsung oleh pelanggan. Dan untuk mengukur dimensi mutu ini perlu menggunakan indera penglihatan.
b. Reliability (keandalan)
Yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang tepat dan terpercaya. Pelayanan yang terpercaya artinya adalah konsisten. Sehingga Reliability mempunyai dua aspek penting yaitu kemampuan memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan dan seberapa jauh mampu memberikan pelayanan yang tepat atau akurat.

c. Responsiveness (ketanggapan)
Yaitu kesediaan/kemauan untuk membantupelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat. Dengan kata lain bahwa pemberi pelayanan harus responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Responsiveness juga didasarkan pada persepsi pelanggan sehingga faktor komunikasi dan situasi fisik disekitar pelanggan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.
d. Assurance (jaminan kepastian)
Yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan dankemampuannya untuk memberikan rasa percaya dan keyakinan atas pelayanan yangdiberikan kepada pelanggan. Dan komponen dari dimensi ini yaitu keramahan,kompetensi, dan keamanan.
e. Emphaty (empati)
Yaitu membina hubungan dan memberikan pelayanan sertaperhatian secara individual pada pelanggannya.
Pendapat lain mengenai dimensi mutu juga dijelaskan oleh Oki (2000) dalam tujuh dimensi diantaranya yaitu sebagai berikut :
a.   Time, yaitu seberapa lama customer anda harus menunggu layanan pelayanan anda
b.   Timeliness, yaitu apakah layanan pelayanan anda dapat diberikan sesuai janji.
c.   Completeness, yaitu apakah semua bagian atau item daripelayanan anda, dapat diberikan pada customer.
d.   Courtes, yaitu apakah karyawan yang berada di "garis depan" menyapa dan melayani customer anda dengan ramah dan menyenangkan.
e.   Consistency, yaitu apakah layanan pelayanan anda selalu dilakukan dengan cara yang sama untuk semua customer.
f.    Accessbility and convenience, yaitu apakah layanan pelayanan anda mudah dijangkau dan dinikmati.
g.   Responsiveness, yaitu apakah karyawan anda selalu tanggap dan dapat memecahkan masalah yang tidak terduga Selain pendapat-pendapat di atas mengenai dimensi mutu.






BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
Mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Berkaitan dengan kualitas pelayanan jasa, metode peningkatan mutu pelayanan jasa kebidanan dan organisasi kesehatan dapat dilakukan dengan pendekatan total Quality Management (TQM). Total Quality Manegemen (TQM) merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungannya.

3.2       Saran
Untuk lebih memberikan kepuasan kepada konsumen maka mutu pelayanan kesehatan di indonesia harus lebih ditingkatkn, untuk mencapai masyarakat yang sehat dan terbebas dari berbagai macam penyakit. Sebagai seorang Bidan sangat ditekankan akan mutu pelayanan yang maksimal. Tuntutan seorang bidan sangatlah berat dan berisiko tinggi terutama pada ibu dan anak. Maka dari itu seorang bidan wajib menjalankan tugas sesuai prosedur yang sudah ditentukan baik itu, penyuluhan dan lainnya sesuai profesi kebidanan.
















DAFTAR PUSTAKA

Jurnal:

  • Hermanto, Dadang. 2010. Pengaruh Persepsi  Mutu  Pelayanan Kebidanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap Kebidanan Di Rsud Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo  Bulungan Kalimantan Timur. Tesis . Program Pasca Sarjana.Universitas Dipenogoro. Semaran
  • Kostania, Gita. 2005. Pelaksanaan Pelayanan Kebidanan Komplementer Pada Bidan Praktek Mandiri Di Kabupaten Klaten .Gaster Vol. XII No. 1 Februari 2015. Poltekkes Kemenkes Surakarta
  • Kuntjoro, Tjahjono. 2005.  Pengembangan Manajemen Kinerja Perawat Dan Bidan Sebagai Strategi Dalam Peningkatan Mutu Klinis. JMPK Vol. 08/No.03/September/2005. Balai Pelatihan Teknis Profesi Kesehatan. Gombong. Jawa Tengah
  • Mamik. 2014. Manajemen Mutu : Pelayanan Kesehatan dan Kebidanan. Sidoarjo . Zifatama
  • Susmaneli Herlina, dan Ani Triana. 2014. Dimensi Mutu Pelayanan Kebidanan terhadap Kepuasan Pasien Program Jampersal . Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Pekan baru
Buku :

  • Atik Purwandari, A.Md.Keb., SKM. 2008. Konsep Kebidanan Sejarah & Profesionalisme. Jakarta : EGC
  • Th. Endang Purwoastuti, S.pd, APP. Elisabeth Siwi Walyani, Amd, Keb. 2008. Mutu Pelayanan Ksehatan & Kebidanan. Jakarta Pusat : PB
  • Jenny J.S Sondakh, Marjati, Tatarini Ika Pipitcahyani. 2013. Mutu Pelayanan Kesehatan dan Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika
  • Naomy Marie Taudo. 2013. Mutu Pelayanan Kebidanan dan Kebijakan Kesehatan. Jakarta : In Media
  • Prof. dr. A.A. Gde Muniojaya, MPH. 2012. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : EGC
  • Sallis E. 2008. Total Quality Management, Jakarta: Gramedia. Cheap Offers:
  • Syafrudin, SKM, M.Kep. Siti Masitoh, SKp, M.Kes. Taty Rosyanawaty, App. 2003. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Untuk Bidan. Jakarta Timur : TIM
  • Tjiptono, F. dan Diana,A. 1998. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi Offset.
  • Vincent G. 2005. Total Quality Management, Jakarta : PT Gramedia Pustaka             Utama.
  • Wijono Djoko. 2000. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Surabaya : Airlangga University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pelayanan Penyakit Menular TB di Keluarga

BAB I PENDAHULUAN 1.1               Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh kuman...